top of page
Search

[Literasi Kompsi] Andromeda & Demokrasi Kita

  • Writer: HMI KOMPSI
    HMI KOMPSI
  • May 12, 2019
  • 2 min read
“Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan, di sana bersemayam kemerdekaan, apabila engkau memaksa diam, aku siapkan untukmu : pemberontakan!” -Widji Thukul-



Hari ini tepat dua puluh satu tahun, salah satu peristiwa paling mencekam terjadi di Indonesia. Demonstrasi yang terjadi di kampus Tri Sakti berakhir dengan gugurnya empat orang mahasiswa dari kampus tersebut; Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie.


Kita semua pasti tahu betul apa yang terjadi pada 12 Mei 1998, aparat keamanan melakukan penembakan terhadap demonstran yang menolak kepemimpinan orde baru. Namun banyak hal-hal bagi saya pribadi—sebagai generasi yang lahir setelah orba—menimbulkan pertanyaan. Misalnya, dari sekian banyak kampus yang melakukan demonstrasi, kenapa harus Tri Sakti? Yang notabene kebanyakan mahasiswanya berasal dari etnis Tionghoa. Lalu pertanyaan terbesar pastinya, siapa yang salah?


Didorong keinginan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Nisa’ul Kamilah Chisni menggambarkannya dengan sangat baik dalam “Andromeda : Repihan Kisah di Balik Suksesi Kepemimpinan, Mei 1998”.


Novel yang diproyeksikan sebagai peringatan 10 tahun Reformasi dan 100 tahun Kebangkitan Nasional ini berkisah tentang Andromeda Fadilla, Mahasiswi tahun ke-tiga Fakultas Hukum UI dan juga anggota senat mahasiswa serta merupakan orator ulung di setiap demonstrasi. Kekritisan dan kelantangan suaranya dalam menyampaikan amanat penderitaan rakyat telah menempatkannya ke dalam daftar orang-orang yang paling dicari oleh musuh-musuh mahasiswa, pemerintahan orde baru.


Novel ini menceritakan kilas balik tragedi memilukan mei 98’ dengan bentuk narasi. Ia membawa pembaca seakan kembali kedalam peristiwa demonstrasi dan merasakan sense of crisis ketika penembakan empat mahasiswa Tri Sakti itu terjadi.


Nisa’ul Kamilah Chisni dalam tulisannya memang mengganti nama tiap-tiap tokoh, namun gaya bahasa dan narasinya seakan membiarkan pembaca bermain dengan spekulasi di imajenasinya masing-masing melalui rangsangan cerita yang ditulisnya. Sehingga kita bisa menyimpulkan siapa dalang dari tragedi tersebut.


Di hari yang indah ini saya kira, menyarankan pada kawan-kawan untuk membaca buku ini tidaklah buruk. Kita harus selalu ingat, nikmat demokrasi yang kita peroleh hari ini dibangun di atas darah banyak orang, termasuk empat orang mahasiswa itu.



Ciputat, 12 mei 2019

Ariel Amanda Kutajeng

 
 
 

Recent Posts

See All
[Sastra Kompsi] “Jengah”

Karya : Dean Zulmi Airlangga Heyy kau Iya kau pemberi janji-janji palsu Janji yang selalu diucapkan sebelum memimpin Tapi, apakah janji...

 
 
 

Comments


bottom of page