[Sastra Kompsi] Sajak: JATUH
- HMI KOMPSI
- Apr 7, 2019
- 5 min read
Updated: May 12, 2019
Oleh : Dina Aliyyah Nabilah
17 Oktober 2015, Merbabu 3.142 Mpdl.
Apakah kamu ingat pada saat itu?
Tanggal dimana kau mengajakku untuk menemanimu menyalurkan hobimu. Meminta restu mati-matian kepada ayahku agar aku bisa ikut bersamamu. Kau sabar saat itu dengan tingkahku yang terkadang mengeluh karena aku yang tidak biasa dengan tas berat dan perjalanan panjang untuk sampai ke puncak.
Kau selalu tersenyum dan tertawa karena tingkah konyolku. Kau bilang itu penyemangatmu selain godaan untuk sampai di atas puncak Gunung Merbabu.
“Nanti kalau sudah sampai di puncak, kamu pasti ngga akan nyesel, kamu pasti akan senang. Dan kamu tahu? Itu adalah hal yang paling aku tunggu. Di atas puncak gunung dan kita samasama tersenyum.”
Itu adalah salah satu kalimat yang aku ingat ketika berada di sana. Kau mengucapkan itu seraya mengelus pucuk kepalaku ketika aku merengek karena kelelahan. Kau memaklumi karena memang aku belum terbiasa dengan hal-hal seperti itu.
“Kenapa kamu suka naik gunung?”
Aku bertanya saat kita tengah beristirahat di pertengahan jalan. Kau tersenyum mendengar pertanyaanku, matamu tidak teralihkan dari indahnya pemandangan di atas gunung yang membuat cahaya matamu berbinar.
“Supaya dapat merasakan indahnya alam semesta. Betapa harmonisnya alam dari ketinggian, dan kamu tahu apa yang terpenting, Nil?” Matamu kala itu menatapku. Binar matamu tak hilang. Membuatku terpaku dengan pandangamu. “Aku ingin merasakan rasa bersyukur sedalam-dalamnya. Dan saat itulah, kita akan sadar kalau kita ini bukanlah apa-apa. Tidak ada yang patut untuk disombongkan dalam diri kita. Karena kita hanya sebagian kecil dari kuasa Tuhan di dunia ini.”
Perasaan hangat menjalar dalam hatiku mendengar alasan luar biasa yang sebelumnya tidak pernah aku dengar. Aku tersentuh dengan tutur katamu, Aldizar. Aku tersentuh. Sedingin apapun udara saat itu yang menusuk hingga ke tulangku, tapi perkataan, senyum, dan tatapan matamu membuatku kembali merasa hangat sehangat kebaikan hatimu kepada anak-anak di panti asuhan yang sering kau temui.
Kau adalah sosok laki-laki sempurna yang pernah kutemui, Aldizar. Kebaikan hatimu, indahnya parasmu, kedewasaan pikirmu, eloknya tutur katamu, semua sudah ada pada dirimu. Hanya saja, ada satu yang kurang, yaitu kau yang belum bisa aku miliki. Kedekatan kita membuatku hanya bisa berdiam diri dengan perasaan yang tak menentu. Ketidakpastian antara kau dan aku dalam status teman, membuatku hanya bisa menunggu ntah sampai kapan waktu itu datang
Aku mencoba untuk tidak pernah berani berharap untuk bisa menjadi milikmu, karena aku tahu bahwa dirimu yang terlampau sempurna tidak akan bisa pantas untuk bersanding denganku. Tapi nyatanya, Tuhan memang berkehendak lain. Kala itu, pada ketinggian 3.142 Mpdl Gunung Merbabu, kau menyatakan sesuatu yang teramat indah, membuatku tidak bisa berkata-kata, membuat mataku panas menahan air mata yang ingin keluar karena bahagia, membuatku ingin masuk ke dalam dekap pelukan hangatmu. Aku benar-benar bahagia pada saat itu, Aldizar.
Harapan yang dulu kupikir hanya jauh di angan, kini berhasil aku genggam. Aku bahagia karena pada saat itu perasaanku yang hanya sebuah kebodohan, dibalas dengan kasih sayang yang teramat dalam. Aku sangat mencintai dirimu, Aldizar. Kau mengajaran arti hidup yang sesungguhnya, mencintai alam dan peduli sesama manusia. Kau bilang padaku bahwa kau menyukai senyumku, tapi aku lebih menyukai tawa bahagiamu, Dizar. Kau tertawa karena melihat kebahagiaan anak kecil yang bermain di panti. Kau pun ikut bermain bersama mereka, kau bercerita, memberi mereka banyak hal, mengajarkan mereka, membuat mereka tertawa senang, kau menjalaskan bagaimana perjalanmu menjelajah alam, dan kau berjanji suatu saat nanti akan mengajak mereka mendaki ketika sudah besar nanti.
Sudah dua tahun terlewati, dan selama dua tahun itu pun aku belajar banyak hal darimu. Aku mencintai hal-hal kecil yang kau buat. Memberikanku pemahaman yang berarti dalam hidup. Kau berhasil mendewasakanku, membuat pikiran dangkalku menjadi terbuka luas, membuatku mengerti jika kebahagiaan tidak perlu dengan hal-hal besar dan menghamburkan uang, tapi kebahagiaan terjadi ketika kita bersyukur dan bisa memberi kepada orang lain.
Selama dua tahun itu pun, aku merasakan betapa indahnya diberi kesempatan untuk merasa disayangi dengan tulus. Kau mengerti bagaimana sebenarnya diriku, kau memahamiku, kau mencintaiku seperti kau mencintai alam dan anak-anak kecil yang kau percayai sebagai penerus generasi bangsa yang baik.
Aku mengenalmu sudah lebih dari dua tahun usia hubungan kita. Kita sebelumnya berteman, dan hanya butuh beberapa hari setelah mengenalmu aku sudah jatuh cinta dan benar-benar terjatuh oleh sosokmu bahkan hingga sekarang, Dizar. Hingga sekarang yang kini aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Waktu itu, kau mengajakku untuk bertemu. Kau kembali mengajakku untuk mendaki Gunung Merbabu. Dan pada ketinggian yang sama, kau bercerita tentang perjalanan kita dua tahun yang lalu saat kau mengungkapkan perasaanmu padaku. Aku tetap merasakan kebahagiaan dan kehangatan yang sama saat itu, tapi kebahagiaan itu hanya berjalan sebentar, ketika kau bilang padaku kita harus mengakhiri hubungan ini dan aku harus menjauhi dirimu setelah kita pulang dari Merbabu nanti.
Aku tidak terima dengan keputusanmu waktu itu, ketika kau menjelaskan bahwa kau di jodohkan dengan teman kecilmu dulu. Kau bilang kau tidak bisa menolak perintah orang tuamu. Aku tidak bisa menerima meskipun aku tahu orang baik sepertimu memang tidak bisa membantah permintaan orang tuamu sendiri.
Kau memelukku ketika aku menangis. Pelukan terakhir yang kau berikan sebelum akhirnya kita benar-benar menjauh. Kau bilang, kita harus menjauh karena kau tidak ingin melihatku sakit hati, kau tidak ingin melihatku menangis, dan kau bilang kau takut jika perasaan sayang dan cintamu masih ada untukku.
Harapan yang kugenggam kala itu, kini digantikan dengan sepucuk undangan yang bertuliskan namamu dengan nama dirinya. Aku bertanya dalam hati, kenapa kau melakukan ini kepadaku, Aldizar? Kenapa kau melakukan ini? Kau bilang kita harus menjauh dan tidak perlu lagi untuk bertemu, tapi kenapa kau malah mengirim undangan ini kepadaku? Kau ingin aku datang dan melihat kau bersanding dengannya? Kau ingin membuatku sakit hati dan menangis nantinya?
Aldizar, jangankan untuk datang, melihat namamu bersanding dengan namanya saja di undangan ini sudah membuatku sakit. Terlebih dengan namaku dibawah inisial nama kalian berdua, membuatku hanya seperti rakyat jelata di kalangan raja-raja. Susah untuk menyertakan derajad seperti kalian berdua yang mempunyai kebaikan hati yang sama. Aku ingin marah, Dizar. Aku iri dengan perempuan itu. Aku iri kenapa aku tidak bisa menjadi sepertinya dan pada akhirnya bersanding dengan dirimu selamanya,
Hatiku sakit, bahkan untuk bernapaspun rasanya nyeri sekali. Harapanku benar-benar hancur Aldizar. Aku jatuh. Aku jatuh ke dalam jurang yang penuh dengan ranjau penyiksaan. Dulu, aku senang karena kau selalu mengupayakanku agar selalu bahagia. Dan kini, seumur hidup, aku harus menanggung sakit menyaksikan kau orang yang sangat aku cintai akan menjalani sisa hidupmu dengan membahagiakan perempuan lain.
Kau sudah membuatku jatuh pada dua rasa yang berbeda. Aku hanya berharap semoga tidak ada dendam yang terpendam dalam diriku. Walau rasanya aku ingin sekali marah dan berkeluh kesah, tapi hal itu tidak akan membalikan keadaan sebelumnya, tidak membuat semesta berpihak padaku dengan mengirimkanmu kembali ke pelukanku. Berbahagialah, Aldizar. Bahagiakan perempuan itu lebih dari engkau membahagiakanku dulu. Kenangan tentang kita, akan selalu aku simpan dalam memori tersendiri di otakku. Aku berharap, waktu tidak berputar lagi, biarlah aku mati bersama memori-memori ini. Karena kau harus tahu, Aldizar, kau adalah sosok yang tak mungkin aku temukan lagi.
Comments